Mencukur Jenggot
KEBIASAAAN-KEBIASAAN YANG WAJIB DIJAUHI DALAM PERNIKAHAN (KEMUNKARAN-KEMUNKARAN DALAM PESTA)
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Kesebelas:
MENCUKUR JENGGOT.
Sebagian orang mungkin heran dan bertanya: “Apa kaitan pembahasan ini dengan mencukur jenggot, atau apa kaitan perayaan yang munkar dan adat-adat yang wajib dijauhi dengan mencukur jenggot?”
Kami jawab: Kami menyebutkan kebiasaan ini pada kesempatan ini telah menjadi kebiasaan banyak manusia. Sebelum mereka pergi menuju pekerjaan mereka, atau pergi ke pesta atau selainnya, mereka terlebih dahulu mencukur jenggot. Ini dijumpai juga pada pengantin pria. Sebelum melangsungkan pernikahannya, ia harus mencukur nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya ini. Bahkan di sana ada hal yang lebih buruk dan menyedihkan. Sebagian suami adalah orang-orang yang pada dasarnya memelihara jenggot, namun ketika datang hari pernikahan mereka, engkau melihat mereka telah mencukur jenggot mereka. Jika engkau bertanya kepada salah seorang dari mereka, maka ia memberi jawaban kepadamu: “Ini adalah malam yang hanya sekali dalam seumur hidup atau hanya satu malam saja, kemudian kami akan kembali memelihara jenggot.” Seolah-olah malam ini diperkenankan untuk bermaksiat kepada Allah. Laa ilaaha illallaah. Mahasuci Engkau! Ini adalah kedustaan yang besar.
Tidak diragukan lagi, wahai saudaraku yang tercinta, bahwa ini merupakan godaan iblis terhadap kebanyakan dari mereka. Tahukah engkau, wahai saudaraku, bila malam ini adalah akhir malam dalam umurmu?!
Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah, tinggalkan was-was ini darimu, dan berpegang teguhlah kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam di setiap waktu dan di setiap keadaan.
Karena perkaranya sebagaimana yang engkau lihat, maka penulis merasa perlu menyebutkan sebagian dalil atas haramnya mencukur jenggot. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan dalil-dalil ini terhadap kaum muslimin pada umumnya dan orang-orang yang melangsungkan pernikahan pada khususnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam al-Qur-an untuk mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam dengan firman-Nya:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajibanmu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” [An-Nuur/24: 54].
Penulis Mukhtashar al-Qadiir menerangkan tafsir ayat ini: قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ “Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan taatilah Rasul.’ Yakni, ketaatan secara lahir dan bathin, dengan keyakinan yang bersih dan niat yang tulus.
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُـولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَـاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
‘Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajibanmu adalah apa yang di-bebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” Ini adalah seruan kepada orang-orang yang diperintahkan. Dan, asalnya (dari kalimat fa-in tawallau) ialah: Fa-in tatawallau.
فَإِنَّمَـا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ ‘Sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya.” Yakni, ketahuilah bahwa kewajiban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah mengemban apa yang diperintahkan kepadanya, yaitu menyampaikan (risalah), dan beliau telah melaksanakannya. وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ ‘Kewajibanmu adalah apa yang dibebankan kepada-mu,’ yakni apa yang diperintahkan kepadamu berupa ketaatan.
وَإِن تُطِيعُوهُ ‘Jika kamu taat kepadanya,’ dalam perkara yang diperintahkan kepadamu dan perkara yang kamu dilarang melakukannya.
تَهْتَدُوا ‘Niscaya kamu mendapatkan petunjuk,’ kepada kebenaran, dan kamu terbimbing kepada kebajikan, serta kamu mendapatkan pahala.
وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ ‘Dan tidak lain kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.’ Ia tidak mampu membawa hati kalian kepada keimanan. Oleh karena itu, bersegeralah kepada keimanan dengan amalan dari diri kalian.”[1]
Dalam ayat sebelumnya Allah menggambarkan keadaan kaum munafik bahwa mereka bersumpah akan keluar di jalan Allah dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, padahal mereka tidak melakukan hal itu. Mereka semata-mata hanya bersumpah dengan kedustaan dan riya’, dan mereka mengatakan apa yang tidak mereka perbuat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman untuk mereka, قُلْ لاَ تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَّعْرُوفَةٌ “Katakanlah: ‘Janganlah kamu bersumpah.’ (Karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sebenarnya.” (An-Nuur: 53). Yakni ketaatan kalian yang sebenarnya. Sebab, sumpah tersebut hanya-lah ucapan belaka tanpa disertai perbuatan. Dan setiap kali kalian bersumpah, pasti kalian berdusta.[2]
Berikut ini wahai saudaraku yang budiman, patuhilah perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara jenggot, dan hadits-hadits menunjuk-kan atas hal itu serta bantahan terhadap sebagian pendapat para pengikut filosof dan orang-orang yang senantiasa berkeinginan untuk mengurangi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Umar, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَـالِفُوا الْمَجُوْسَ، أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَـى.
“Selisihilah kaum Majusi; cukurlah (rapikanlah) kumis dan peliharalah jenggot.”[3]
Dalam riwayat lain:
اِنْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى.
“Cukurlah kumis dan biarkan jenggot.”[4]
Dalam riwayat lain:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى.
“Selisihilah kaum musyrik; cukurlah kumis [5] dan peliharalah jenggot.”[6]
Dalam riwayat Muslim:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.
“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot; selisihilah kaum Majusi.”[7]
Syubhat:
Jika seseorang mengatakan: “Di antara kaum musyrikin ada yang tidak mencukur jenggotnya, dan untuk menyelisihinya maka saya mencukurnya sehingga saya menyelisihi mereka.” Kita berikan jawaban kepada mereka: Adapun mereka membiarkan jenggot, maka hal itu berasal dari sisa-sisa agama yang mereka warisi dari Ibrahim p, sebagaimana mereka juga mewarisi khitan. Diriwayatkan secara shahih dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, bahwa ia menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)…” [Al-Baqarah/2: 124].
Ia menyatakan: “Yaitu perkara-perkara fitrah.”
Ini menunjukkan kepada kita tentang prinsip penting, bahwasanya menyelisihi kaum musyrikin itu sekali waktu berkenaan dengan prinsip hukum dan pada waktu lain berkenaan dengan sifat hukum. Sebagai contoh: jika mereka mencukur jenggot dan kumis mereka, maka kita menyelisihi mereka dalam prinsip perbuatan tersebut, dengan membiarkan jenggot dan mencukur kumis.
Jika mereka membiarkan jenggot dan kumis mereka, maka kita menyelarasi mereka dalam prinsip membiarkan jenggot dan menyelisihi mereka dalam sifat membiarkan kumis dengan men-cukurnya.[8]
Jika mereka mengeluarkan wanita haid dari rumah-rumah mereka, tidak makan bersamanya dan tidak menyetubuhinya, maka kita menyelisihi mereka dalam prinsip. Caranya, kita menempatkan mereka di rumah, makan dan minum bersamanya, dan kita bisa melakukan apa saja terhadap mereka. Kita menyepakati mereka dalam hal tidak bersenggama saja, kecuali (mencumbu bagian tubuh yang berada) di atas kain sebagaimana hal itu mendapatkan per-setujuan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ، إِلاَّ النِّكَاحَ.
“Lakukanlah segala sesuatu, kecuali bersenggama.”
Apakah seseorang boleh mengatakan: “Mari kita bersenggama dengan isteri-isteri kita saat mereka haid sehingga kita menyelisihi kaum Yahudi?”[9] Jadi, saudaraku yang budiman, bukan berarti perbuatan mereka terhadap sesuatu adalah prinsip bagi manusia, sehingga wajib bagi kita untuk menyelisihinya secara keseluruhan. Tetapi penyelisihan tersebut adalah sebagaimana yang diperintahkan agama kita. Jika agama kita memerintahkan agar menyelisihi mereka kemudian memerintahkan kita agar memelihara jenggot, maka kita mengetahui bahwa tindakan menyelisihi terjadi dalam hal membiarkan kumis, yang memanjang sampai menyatu dengan jenggot. Jadi, kita harus menyelisihi hal itu, mengikuti fitrah dan Sunnah Nabi kita dengan membiarkan jenggot.
Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ اْلأَظَافِرِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ -يَعْنِيْ: الاِسْتِنْجَاءُ.
‘Ada sepuluh hal yang termasuk fitrah; mencukur kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air ke dalam hidung (ketika wudhu’,-ed.), memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan istinja’.’”
Zakariya berkata: “Mush’ab mengatakan: ‘Aku lupa yang kesepuluh, kemungkinan adalah berkumur (ketika berwudhu’).’”[10]
Mencukur jenggot dinilai sebagai pelanggaran dalam syari’at karena alasan-alasan berikut:
1. Merubah ciptaan Allah.
Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala tentang iblis:
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
“… Dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah)…” [An-Nisaa’/4: 119].
Menurut para ulama, ini adalah nash (teks) yang tegas bahwa merubah ciptaan Allah dengan tanpa seizin-Nya -dengan membolehkan perihal tersebut- adalah ketaatan kepada perintah syaitan dan kedurhakaan terhadap perintah ar-Rahmaan.
Sudah pasti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang merubah ciptaan Allah untuk keindahan. Tidak diragukan lagi bahwa mencukur jenggot untuk ketampanan “dalam rangka ber-hias” masuk dalam kategori laknat tersebut, karena ia diperintahkan untuk hal selain itu.
Seperti halnya wanita diperintahkan supaya tidak mencukur alis dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya, bersamaan dengan itu perbuatannya dalam rangka untuk berdandan adalah menyelisihi syari’at. Tidak diragukan lagi, perbuatan ini masuk dalam kategori perbuatan yang dilaknat.
Laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk wanita yang merubah ciptaan Allah, kendatipun disyari’atkan kepadanya untuk berhias, lebih banyak dibandingkan untuk laki-laki, menunjukkan bahwa pengharaman perbuatan ini atas laki-laki lebih keras lagi dan itu masuk dalam kategori merubah ciptaan dan layak mendapatkan laknat.[11]
2. Mencukur jenggot berarti membenci Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafaur Rasyidin serta menyerupai orang-orang kafir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“… Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur/24: 63].
Dia berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah…” [Al-Ahzaab/33: 21].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan golonganku.”[12]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ، إِلاَّ مَنْ أَبَى.
“Semua umatku akan masuk Surga kecuali siapa yang enggan (menolak).”
Beliau ditanya: “Siapakah yang enggan (menolak), wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَـانِيْ فَقَدْ أَبَى.
“Siapa yang mentaatiku, ia masuk Surga dan siapa yang ber-maksiat kepadaku, maka ia telah enggan.”[13]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَـافِىْ، إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَـاهِرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً، ثُمَّ يُصْبِحُ -وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ- فَيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.
“Semua umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan. Di antara perbuatan dosa secara terang-terangan ialah seseorang berbuat suatu dosa pada malam hari, kemudian pada pagi harinya -padahal Allah telah menutupi dosanya- mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan demikian dan demikian.’ Pada malam harinya Allah telah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya dia membuka tabir Allah darinya.”[14]
Di antara bentuk menampakkan dosa ialah mencukur jenggot, keluar dengan tanpa jenggot, dan menganggap remeh perintah-perintah Allah tanpa rasa malu, bermaksiat kepada-Nya di hadapan orang-orang.
Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Terang-terangan dalam bermaksiat adalah meremehkan hak Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukmin yang shalih. Ini adalah bentuk penentangan terhadap mereka. Sedangkan menutupinya adalah lebih terhindar daripada sikap meremehkannya; karena kemaksiatan menghinakan pelakunya, juga lebih terhindar dari hukuman tertentu (hadd), jika dosa tersebut mengharuskan hadd; atau ta’-zir (hukuman yang belum diatur ketentuannya) jika tidak mengharuskan hadd. Sebaliknya, jika ia menunaikan hak Allah, maka ia menjadi manusia yang paling mulia, dan rahmat Allah mendahului murka-Nya. Karena itu, jika Allah menutupi kesalahannya di dunia, maka Dia tidak akan menampakkan aibnya di akhirat. Sedangkan orang yang mem-beberkan dosanya, maka ia tidak mendapatkan semua itu.”[15]
Apakah setelah itu, saudaraku yang budiman, pantas untuk membeberkan kemaksiatan dan menganggap remeh agama Allah. Dia memerintahkan kepadamu dan engkau bermaksiat kepada-Nya. Duhai kiranya engkau mengakui bahwa itu adalah kemaksiatan, akan tetapi engkau mengingkarinya, merasa bangga dengan dosa, dan mendengarkan ucapan para pengikut filosof dalam agama Allah agar mereka meringankan dan menghalalkan untukmu kedurhakaan kepada Allah di hatimu.
Sementara itu engkau pun melalaikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kepadamu untuk melakukan amalan ini. Maka dengarlah bagaimana jenggot Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. An-Nasa-i me-riwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَثَّ اللِّحْيَةِ، تَمْلأُ صَدْرَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjenggot lebat yang memenuhi dadanya.”[16]
Lalu di manakah orang-orang yang menyatakan: “Kami mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah atas hal itu?”
قُلْ لَا تُقْسِمُوا ۖ طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Katakanlah: ‘Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sebenarnya. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.’” [An-Nuur/24: 53].
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata benar, ketika mengabarkan kepada kita bahwa para pemuda Islam dan kaum dewasanya akan mengikuti perbuatan kaum kafir dan kaum sesat selangkah demi selangkah. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ.
“Hari Kiamat tidak akan terjadi, sehingga umatku mengambil tradisi umat-umat sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.”
Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, apakah orang-orang Persia dan Romawi?” Beliau menjawab:
وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ.
“Siapa lagi kalau bukan mereka?”[17]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَـانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا ذِرَاعًا حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبَعْتُمُوْهُمْ.
“Kalian akan mengikuti tradisi-tradisi umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga sekira-nya mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun akan mengikuti mereka.”
Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab:
فَمَنْ؟
“Siapa lagi?”[18]
3. Mencukur jenggot menyerupai wanita.
Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah berkata: “Dengan jenggot itulah laki-laki berbeda dengan wanita.”[19]
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan: “Mahasuci Allah yang membedakan laki-laki dengan jenggot dan wanita dengan rambutnya yang terjurai.”
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Jelas sekali bahwa seorang pria yang mencukur jenggotnya -yang dengannya Allah membedakannya dengan wanita- adalah perbuatan terbesar dalam menyerupai wanita.”[20]
Kita tutup pembicaraan ini dengan ucapan Syaikh al-Albani rahimahullah: “Tidak diragukan lagi bagi orang yang fitrahnya sehat dan perangainya baik, bahwa semua dalil dari dalil-dalil ini sudah cukup untuk mengukuhkan wajibnya memelihara jenggot dan haram mencukurnya.”[21]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. Zubdatut Tafasiir, Dr. Sulaiman al-Asyqar (hal. 466).
[2]. Tafsiir al-Qur-aanil ‘Azhiim, Ibnu Katsir (III/400).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5892) kitab al-Libaas, Muslim (no. 259) kitab ath-Thahaarah, dan redaksi ini miliknya, at-Tirmidzi (no. 2763) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 12) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 4199) kitab at-Tarajjul, Ahmad (no. 4640).
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 5893) kitab al-Libaas, Muslim (no. 260) kitab ath-Thahaarah.
[5]. Syaikh al-Albani berkata dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 209): “Yakni, cukurlah dengan sempurna.” Kata ini serupa dengan جُزُّوا. Yang dimaksud ialah ‘men-cukur dengan sempurna’ yaitu mencukur kumis yang melebihi bibir, tidak mencukur semuanya, karena hal ini menyelisihi Sunnah amaliah yang sah dari Nabi n. Karena itu, ketika Malik ditanya tentang orang yang membiar-kan kumisnya lebat, ia menjawab: “Menurutku, ia harus diberi hukuman cambuk.” Sementara ia mengatakan kepada orang yang mencukur kumisnya (secara keseluruhan): “Ini adalah bid’ah yang muncul di tengah-tengah manusia.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (I/151), dan lihat Fat-hul Baari (X/285-286). Karena itu Malik berkumis. Ketika ia ditanya tentang hal itu, ia mengatakan: “Zaid bin Aslam menceritakan kepadaku dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin az-Zubair bahwa ketika ‘Umar marah, maka ia memilin kumisnya dan meniup-nya.” Diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (I/4/1) dengan sanad yang hahih. Ia meriwayatkannya juga (I/329/2), Abu Zur’ah dalam Taariikhnya (I/46), dan al-Baihaqi mengatakan: “Lima dari Sahabat, mereka membiarkan jenggot mereka dan mencukur (kumis) yang melebihi bibir.” Sanadnya jayyid, dan yang semisalnya dalam Ibnu ‘Asakir (VIII/520/2).
[6]. HR. Muslim (no. 54), kitab ath-Thahaarah.
[7]. HR. Muslim (no. 55), kitab ath-Thahaarah.
[8]. Dari kitab Adillatu Tahriim Halqil Lihyah, Syaikh Muhammad bin Isma’il (hal. 33).
[9]. Sebagaimana ucapan Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr kepada Rasu-lullah n, maka beliau marah terhadap hal itu.
[10]. HR. Muslim (no. 261) kitab ath-Thahaarah, at-Tirmidzi (no. 2757) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 5040).
[11]. Dari buku Adillatu Tahriim Halqil Lihyah (hal. 66) dengan diringkas.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 7280) kitab al-I’tishaam bil Kitaab was Sunnah, Muslim (no. 1835) kitab al-Imaarah, Ibnu Majah (no. 3), kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 8511).
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 6069) kitab al-Adab, Muslim (no. 2990) kitab az-Zuhd war Raqaa-iq.
[15]. Lihat Fat-hul Baari (X/487).
[16]. HR Al-Bukhari (no. 3344) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’, Muslim (no. 1064) kitab az-Zakaah, an-Nasa-i (no. 5232) kitab az-Ziinah, Abu Dawud (no. 4764) kitab as-Sunnah, Ahmad (no. 686).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 7319) kitab al-I’tishaam bil Kitaab was Sunnah, Ahmad (no. 8109), Ibnu Majah (no. 3994).
[18]. HR. Al-Bukhari (no. 7320) kitab al-I’tishaam bil Kitaab was Sunnah, Muslim (no. 2669) kitab al-‘Ilm, Ahmad (no. 11391).
[19]. Lihat Adillatu Tahriim Halqil Lihyah (hal. 38).
[20]. Aadabuz Zifaaf, al-Albani (hal. 212).
[21]. Aadabuz Zifaaf, al-Albani (hal. 210).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2493-mencukur-jenggot.html